Prabu Rajasanagara duduk di tepi dipan, diam terpaku menatap wajah tua dari sosok seseorang yang sangat begitu dia hormati. Garis-garis kehidupan membekas dalam dan tergerus di kulit keriput yang kini sedang menghadapi menit-menit terakhir sebelum menghadap sang hyang widhi. Tidak ada kata yang terucap, suasana sangat hening hanya ada kabut tipis dari asap ratusan dupa yang memberikan bau harum semerbak mewangi. Tetapi tatapan mata itu begitu lembut dan menusuk, tanpa banyak berbicara dan mengisyaratkan permintaan maaf atas segala sesuatu yang pernah terjadi.
Masih terbayang jelas di ingatan Prabu Rajasanagara, ketika kabar tentang neneknya Gayatri Rajapatni yang meninggal dunia di pertapaan Buddha sampai ke telinga. Ibunda Tribhuwana Wijayatunggadewi telah dari jauh hari mengatakan kalau beliau berpulang maka dia harus segera turun takhta. Karena ibunda hanyalah sebagai perwakilan dari sang Ratu Gayatri yang merupakan sosok yang sebenarnya memegang kekuasaan di tanah Jawa. Sang nenek menunjuk ibunda sebagai pengganti setelah raja sebelumnya yaitu Jayanegara yang masih merupakan pamannya, mangkat secara tiba-tiba.
Ibunda selalu bercerita dengan nada kagum tentang sosok pendiam yang berbadan tegap yang selalu terlihat duduk bersimpuh mendampingi di kaki singgasana. Dia belum lagi lahir ketika ibunda naik takhta untuk menggantikan sang paman yang menurut desas desus dibunuh olehnya atas perintah sang nenek karena perbuatannya yang semena-mena. Ibunda kemudian menunjuknya sebagai mahapatih karena sudah terbukti kesetiaannya yang mengabdikan diri sepanjang hidup terhadap keluarga dinasti Rajasa. Di hari pengangangkatannya dia mengucapkan sumpah kalau sebelum Nusantara bersatu dia akan membiarkan makanannya hambar dan tidak akan tersentuh oleh palapa atau rempah-rempah.
Rajasanagara masih sangat muda, dia baru berusia 16 tahun ketika ibunda memanggilnya untuk menghadap di depan semua hadirin petinggi kerajaan. Titah telah diberikan, dia harus memikul beban tanggung jawab yang besar dimulai dengan menanggalkan nama kecilnya Hayam Wuruk, dan terbersit keraguan seandainya dia tidak bisa seperti yang diharapkan. Tetapi tatapan mata dari sosok yang duduk diam bagaikan patung penjaga istana menusuknya dalam-dalam dan memastikan kalau semua akan baik-baik saja serta tidak perlu ada kekhawatiran. Sejak dia kecil, sosok itu selalu mengawasi gerak geriknya terkadang hanya berdiri di sudut memperhatikan saat dia berlatih, terus terang ada sedikit rasa takut saat melihatnya tetapi juga sekaligus memberikan rasa tentram.
Petualangan demi petualangan bersamanya sangat menyenangkan, daerah kekuasaan Majapahit semakin melebar hingga jauh mendekati kerajaan Siam. Walaupun hampir seluruh tanah Swarnadwipa (Sumatra) dan Kalimantan telah dikuasai tetapi daerah Pasundan di sebelah barat masih belum juga bisa ditaklukan. Mungkin dua kerajaan ini bisa bergabung dengan jalan perkawinan dan kabar mengatakan kalau putri Dyah Pitaloka Citraresmi begitu cantik tiada terbilang. Dan segera utusan dikirimkan ke kerajaan Sunda untuk meminang sang putri untuk menjadi pendamping dari sang raja muda yang juga gagah dan sangat tampan.
Rombongan 200 kapal dari kerajaan Sunda yang datang melalui laut sudah sampai di perbatasan utara ibukota Trowulan, dan berkemah di daerah Bubat, menunggu datang penjemputan dengan upacara kebesaran. Tetapi yang tiba malah utusan dari sang Mahapatih yang tanpa tata krama meminta semua rombongan untuk menyerahkan diri sebagai orang taklukan. Serta merta hinaan itu memicu kemarahan dan pertempuran menjadi tidak terelakkan dan rombongan pengantin yang diantar sendiri oleh Raja Linggabuana Wisesa yang tidak siap tempur, akhirnya dibantai habis tanpa perasaan. Para putri dan dayang-dayang melakukan balapati, yaitu bunuh diri dengan menghujamkan tusuk konde hiasan rambut ke jantung, untuk menyelamatkan kehormatan.
Sejak itu hubungan Prabu Rajasanagara dengan sang Mahapatih menjadi renggang dan memaksanya untuk melakukan pensiun dini dengan dalih memberikan lahan di daerah Madakaripura*. Sepeninggalnya, tanah kerajaan Majapahit memang masih terus melebar hingga jauh ke arah timur sampai meliputi pulau-pulau di laut Halmahera. Setahu sang Prabu, sang Mahapatih memang menepati janjinya dan tidak pernah menyentuh palapa sampai akhir tutup usia. Ambisi yang terlalu besar telah menyebabkan hubungan dengan tanah Parahyangan menjadi retak hingga sampai kini ke anak cucu, walaupun telah berabad-abad jauhnya.
Tabik.
B. Uster Kadrisson
Catatan : Gajah Mada meninggal dalam usia 74 tahun dan saat itu kekuasaan Majapahit sudah meliputi lebih dari luas negara Indonesia sekarang. Walaupun sudah tidak lagi di bawah komando sang Mahapatih, tanah kekuasaan Majapahit meliputi sampai ke negara Malaysia dan Singapura hingga ke perbatasan Thailand. Walaupun begitu, kerajaan Sunda dan Galuh di tanah Pasundan tidak pernah terjamah dan peristiwa di Bubat (1357) membuat hubungan antara etnis Sunda dan Jawa yang hingga kini masih merenggang. Ada larangan perkawinan antar etnis yang dikeluarkan oleh Pangeran Niskalawatu Kencana, adik dari putri Dyah Pitaloka, dan tidak ada nama jalan dari turunan kerajaan Majapahit di tanah Parahyangan.
*Probolinggo
Patung Gajah Mada di objek wisata air terjun Madakaripura, Probolinggo