Hari ini saat kebetulan mampir di sebuah supermarket di dekat stasiun subway, saya menemukan beberapa item yang sudah lama tidak nampak. Ada Indomie goreng ektra pedas dan rasa ayam barbeque yang akan dikudap dengan krupuk tapioka yang bikin suara kriuk kruak. Sudah membayangkan akan dilanjutkan dengan menyantap kue ongol-ongol yang kelihatan sangat menggoda untuk ditindak. Serta kemudian menonton tv dengan menikmati roti Marie Regal yang dicelupkan di dalam teh panas yang diseduh dengan air yang baru menggelegak.
Di dekat rumah memang ada beberapa supermarket spesialis Asia yang juga menjual barang-barang produksi yang diimport dari tanah air. Tetapi belakangan makanan penyelamat anak kos seperti Indomie yang tersedia di sana cuma ada beberapa rasa saja dan itupun hanya segelintir. Paling rasa kari ayam yang merupakan trade mark paling awal atau juga ayam bawang dan jarang sekali ada produksi-produksi dari kelompok rasa yang terakhir. Saya tidak pernah melihat dan merasakan produksi lain seperti Indomie goreng cabe ijo, sambal rica-rica atau rasa ayam goreng penyet yang melihat bungkusnya saja sudah membuat air liur menetes dari sudut bibir.
Dulu saya harus memesan dari Philadelphia ketika ada teman yang akan datang berkunjung dari sana. Ketika mendapatkan dua kardus indomie dengan berbagai rasa seperti mendapat peti harta karun berisi emas permata. Kemudian beberapa tahun yang lalu ada beberapa orang Indonesia yang membuka usaha berupa toko-toko kecil yang menjual semua produk jadi dari bumi Nusantara. Sejak itu kepuasaan saya akan rempah-rempah terpenuhi, bisa makan telor goreng sambal balado atau sambal goreng hati dengan bumbu Bali yang ketika sedang memasaknya sudah bikin mulut berkuah-kuah.
Peraturan department kesehatan di Amerika sangat ketat kalau menyangkut tentang masalah makanan. Semua barang import yang masuk melewati pabean harus memenuhi kriteria dan kadang harus diberi label tambahan. Pernah katanya sambel gado-gado, pecel dan ketoprak yang biasanya selalu ada, tetapi kali itu sudah berbulan-bulan tidak kelihatan. Menurut yang menjual, produk tersebut terpaksa ditolak di pelabuhan karena petugas yang memeriksa merasa tidak berkenan.
Kemudian untuk memenuhi keinginan para diaspora yang ada di daerah New York serta New Jersey, toko-toko tersebut mulai menjual masakan yang sudah dikemas. Dibuat oleh orang-orang Indonesia yang bermukim di Philadelphia yang terletak sekitar satu jam setengah dan diantar saat masih panas-panas. Makanan tersebut cuma ada saat weekend saja, dari mulai Jumat sore hingga Minggu pagi sudah licin tandas tidak berbekas. Aduh.. saya sampai bingung untuk memilih apakah ikan rica-rica wokublanga, atau makan nasi rames rendang Padang dengan sayur nangka yang ekstra pedas.
Banyak orang yang sudah menunggu di depan toko kecil tersebut, sejak Jumat sore sebelum jam enam. Rame dengan anak-anak yang bermain dan emak-emak yang ngerumpi, bertukar informasi serta berita kekinian. Itulah saat di mana saya mendengar bahasa Indonesia yang disela dengan bahasa Jawa yang keluar dari mulut-mulut orang yang terlihat seperti bagian dari komuniti Pecinan. Kadang saya salut dengan mereka, tidak perlu jaim di negara orang dengan memaksa diri untuk berbahasa Inggris, yang penting bisa ketawa ngakak sampai air mata bercucuran.
Suatu kali, ketika mobil truk kecil yang memuat makanan telah datang dan orang-orang yang berkerumun sudah menunggu dengan tidak sabar. Tiba-tiba datang petugas dari dinas kesehatan dengan menunjukkan badge tanda pengenal dan meminta ijin untuk melakukan pemeriksaan makanan yang sudah terletak rapi di atas meja dan bertebar. Karena bungkusan dan kotak-kotak berisi makanan tidak dilengkapi dengan data-data gizi seperti keharusan, sehingga menurut mereka tidak bisa dijual karena illegal dan tidak memenuhi standar. Semua makanan yang ada kemudian dibuang dan disiram dengan cairan pemutih ke dalam sebuah tong sampah yang besar.
Entah berapa kerugian yang terjadi, mungkin diperkirakan bisa mencapai puluhan juta rupiah. Pengunjung yang sudah menunggu sejak lama menjadi gundah dan kasak kusuk untuk mencari tahu siapa yang mempunyai ulah. Karena ini hanyalah komunitas kecil dan cuma orang-orang Indonesia saja yang tahu tentang penjualan makanan yang penuh dengan rempah-rempah. Menurut petugas, dia mendapat telpon dari seseorang anonymous yang memberitahukan dengan lengkap alamat dan jam kedatangan mobil truk pengangkut dari luar kota.
Sejak itu, praktek penjualan makanan masih juga berlangsung secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Customer harus menelpon terlebih dahulu untuk memesan dan menentukan waktu kapan akan dijemput nanti. Makanan diletakkan di rumah atau gudang di belakang toko dan hanya dikeluarkan dengan sudah terbungkus rapi saat ada orang yang ingin membeli. Kadang-kadang agak susah untuk berdagang dan berusaha di negeri yang penuh peraturan ini, apalagi jika diaspora yang ada masih juga membawa rasa iri dan dengki.
Tabik.
B. Uster Kadrisson