Home > Lain-lain > Pilpres di Amerika.. (bagian pertama)

Berbeda dari yang diperkirakan oleh kebanyakan masyarakat umum, ternyata orang Amerika itu sebenarnya tidak memilih presidennya sendiri. Gembar gembor demokrasi dengan ‘one man one vote’ adalah retorika yang salah kaprah karena tidak seutuhnya sesuai dengan janji yang asli. Jargon ini mungkin benar untuk pemilihan wakil rakyat di badan Congress tetapi bukan untuk pemilihan presiden yang sedikit aneh karena menganut sistem electoral college yang sangat sulit untuk dimengerti. Dan sistem ini juga yang menyebabkan ada sekitar 4-5 jutaan warga negara Amerika yang tidak bisa mempunyai hak pilih.

Orang Amerika yang berhak memilih adalah orang-orang yang mempunyai alamat tetap dan bertempat tinggal di salah satu dari 50 negara bagian. Sehingga untuk warga negara yang bertempat tinggal di luar negeri, mereka akan kehilangan hak pilihnya, kecuali jika bisa memaintenance sebuah alamat di dalam negeri yang menjadi basis tempat pengiriman. Karena dengan menggunakan sistem postal dia masih bisa tetap memberikan suara lewat pos yang disebut absentee ballot yang dikirimkan sebelum hari pemilihan. Dan tidak ada cara lain lagi untuk memberikan suara selain dia harus pulang untuk kembali ke kampung halaman.

Sehingga ada jutaan warga negara Amerika yang kehilangan hak pilih karena berdomisili di daerah territorial seperti Guam dan Samoa yang ada di lautan Pacific atau Puerto Rico dan Virgin Island yang ada di kepulauan Caribia. Mereka hanya bisa mendapatkan hak suara jika mau pindah ke negara bagian kepulauan Hawaii atau mainland seperti Louisiana dan Florida. Dan ketika kemudian banyak orang-orang dari Puerto Rico yang ternyata benar-benar pindah setelah terjadi bencana topan badai tahun 2017 yaitu Hurricane Maria. Sehingga membuat presiden yang sekarang ketar ketir karena artinya ada kemungkinan Florida bisa terlepas dari genggaman karena Puerto Rican lebih memihak ke partai Democrats yang berlambang warna biru dan bukan yang berwarna merah.

Jadi begini, ada 50 negara bagian atau katakanlah seperti propinsi di Indonesia yang masing-masing telah ditentukan jumlah electoral vote-nya. Jumlah ini berdasarkan banyaknya populasi warga yang mendiami dan bukan berdasarkan geografi luas wilayah. Montana yang sedemikian gede hanya mempunyai angka 3 yang jumlahnya sama dengan Vermont yang besarnya malah cuma seperlima. New York dan Florida masing-masing mempunyai angka 29, Texas dengan 38 dan jumlah yang terbanyak adalah California dengan angka 55.

Total electoral votes adalah 538, sesuai dengan jumlah wakil rakyat di DPR dan Senator yang mewakili negara bagian. Pemenang dari pilpres adalah kandidat yang bisa mengumpulkan minimal 270 electoral votes sebagai satu-satunya persyaratan. Sedang jumlah total suara secara nasional yang disebut dengan popular votes, malah tidak dianggap dan menjadi diabaikan. Disinilah keanehan yang terjadi ketika sudah ada lima kali dalam sejarah pilpres di Amerika, ketika yang mendapat mandat suara terbanyak secara nasional dari rakyat ternyata bisa terkalahkan.

Saat pemilihan, dalam kertas suara atau ballot yang tertulis adalah nama sang kandidat bersama dengan wakilnya dan bukan berdasarkan nomer atau angka. Sehingga di masing-masing negara bagian urutan yang tidak sesuai dengan alphabetical ini bisa menjadi berbeda-beda. Ada disinyalir, kemenangan presiden yang sekarang karena nama dia dahulu ada diurutan pertama di banyak negara bagian, terutama yang berada di bagian tengah benua Amerika. Karena tingkat literasi di sana yang bisa dibilang pas-pasan sehingga orang cenderung untuk memilih yang ada tertera di baris pertama.

Dan anehnya lagi masing-masing negara bagian bisa memasukkan nama lain dalam daftar kertas suara selain kedua kandidat dari partai besar yang sering dielu-elukan. Sehingga di negara-negara bagian tertentu kadang ada nama calon ke tiga dan ke empat sebagai calon independent yang tidak dikenal oleh banyak orang. Asalkan sang kandidat yang bersangkutan bisa memenuhi kriteria yang diajukan oleh negara bagian, seperti mengumpulkan sejumlah tanda tangan. Sehingga penyanyi Kanye West sekarang bisa menjadi kandidat presiden di lima negara bagian, yaitu Arkansas, Colorado, Oklahoma, Utah dan Vermont, dengan total 31 suara tetapi jelas tidak mencukupi kemungkinan untuk menjadi pemenang.

Saat pemilihan nanti, voters diminta untuk menghitamkan nama sang kandidat yang telah ditetapkan untuk menjadi pilihan hati dengan menggunakan pensil khusus. Karena ini akan dibaca oleh komputer sehingga jika ada double entry tidak akan bisa lulus. Kemudian dengan cepat angka akan ditabulasi sehingga bisa memberikan prediksi quick count yang ditunggu-tunggu oleh orang di seluruh dunia dengan perut kandidat yang pasti terasa bagaikan habis minum obat urus-urus. Siapapun yang menjadi pemenangnya, yang kalah akan mengucapkan selamat dan tidak akan memperpanjangnya hingga berlarut-larut untuk menjadi sebuah kasus.

Nah, disinilah terjadi keanehan yang berbalikan dengan proses demokrasi yang sering diagung-agungkan oleh negara adi daya Amerika. Sesuai dengan sistem electoral college, suara untuk pilpres ternyata dihitung per negara bagian, sehingga pemenang di masing-masing states akan mengambil semua angka electoral vote atau the winner takes it all istilahnya. Bayangkan di negara bagian Florida dengan perbedaan 112 ribu suara bisa merubah keseluruhan peta. Sedang di Michigan dan Pennsylvania dengan hanya total perbedaan 50 ribu suara saja hingga bisa menjadikan seluruh states menjadi berwarna merah.

Dan sudah dua kali dalam abad ke 21 ini, ketika kandidat yang mendapatkan suara terbanyak secara nasional bisa kalah karena sistem aneh yang sangat rancu. Al Gore kalah dari Bush Junior pada tahun 2000, padahal dia menang secara popular votes yang melebihi sekitar 500ribu. Yang terakhir yang paling pahit adalah kekalahan Hillary Clinton yang sebenarnya secara nasional menang hampir 3 juta suara, sesuatu yang membuat hati pilu. Sudah banyak penelitian dan saran dari pada ahli untuk merubah sistem ini karena benar-benar kacau dan tidak menentu.

(.. bersambung..)

Tabik.

B. Uster Kadrisson